Perlahan kabut tipis putih berbaur
dengan alam . Kulihat, telah menyinsing sinar mentari dipelupuk wilayah
tertimur negeriku, aku merasakan bagaimana nikmat dan indahnya rasa hangat
ditubuhku, yang membuatnya nyaman dan enggan untuk mengangkat telapak kaki di tempat
yang saat ini aku sedang berdiri, di rumahku. Mentari, membuat pagiku terasa
lebih hangat yang dibumbui oleh gelora untuk menjajaki alur takdir telah yang
telah Dia lukis yang harus aku lalui sebagai insan pengharap dan pembaris.
Mentari membuat emosi jiwaku enggan untuk hidup tenang ketika rasa panas yang
menyengat tepat berada diatas tempat yang penuh dengan pemikiran karya, yang ku pikirkan
ketika itu adalah hasyrat segera bertepi ke tempat rindang dedaunan yang
menyejukkan dan saat itu aku berontak menahan segala apapun yang membuatku
merasakan sengatan hari, dan aku benar-benar ingin beranjak. Tetapi petang,
ketika aku diberikan sentuhan lembut oleh mentari yang mulai mengerti atas apa
yang aku pikirkan ketika dia memancarkan tingkat kehebatannya, aku dibelai mesra
oleh mentari senja, disana aku temui aku yang nampak lebih tenang dengan raga
yang terlihat payah nan lunglai, dengan
sisa kekuatan yang ada menghabiskan terang bersama mentari yang perlahan redup
ditelah pekat. Aku sangat menanti masa ini disetiap harinya, aku menyukai
malam, aku menyukai malam dengan keheningannya dan disanalah aku bercerita.
Begitulah seterusnya cerita hari yang aku lalui bersama mentari, aku tahu ada
masanya ketika dia datang dengan membawa kenyamanan, dia datang dengan
kebengisannya, dan dia datang kelembutannya. Tapi satu hal, mentari tidaklah
akan pernah pergi untuk selamanya, dia hanya sedang berada dibelahan bumi yang
lain, dan ada masanya dia akan kembali kepada pangkuan dimana meraka ada dan
terbit.
Begitulah aku memaknai apapun yang
kita rajut dan jalin selama ini di rumah yang telah membesarkan kita, kalian
adalah mentari yang bisa saja membuat orang-orang bahagia dan bisa saja membuat
orang-orang menderita karena kedatangannya, namun pada hakikatnya, mentari
memiliki guna yang guna tersebut tidak harus dibandingkan dengan guna benda
lain. Betul jika ada beberapa orang yang berang karena kedatangnya, namun lihat,
ada lebih banyak orang yang sangat menantikan kehadirannya, mentari.
Aku menyimpan mentari.
Jika bukan karena ada manusia yang
berbaris itu, mungkin sekarang aku telah menjadi “gelandangan pembaris” yang
mengemis kepada para manusia angkuh. Pernah aku temui masa ketika aku
benar-benar berada pada posisi terburuk selama berkarir di dunia yang penuh
dengan onak berduri ini, ah.. mungkin ini tidak sebarapa, ketika aku tidak bisa
lagi merasakan indahnya memandang pelangi, ketika aku tidak lagi bisa merasakan
manisnya madu, ketika aku tidak lagi bisa merasakan nikmatnya kebahagiaan, aku
tertipu dengan keindahan pelangi, ternyata indahnya pelangi membuat pandanganku
menjadi buta, ternyata manisnya madu membuat lidahku terasa sangat pahit, dan
ternyata nikmatnya kebahagiaan membuat batinku merintih, aku tertipu dengan
segala yang nampak pada pandangan mata. Pengadu, aku menyebut diriku sebagai
manusia pengadu kepada para bocah, ketika aku mengadu atas apapun yang menipu
pada kehidupanku. Aku melihat dengan kesadaranku, mereka benar-benar
mengulurkan jari-jemari mereka, merangkulku ? itu yang sangat aku harapkan.
Rasanya tidak percaya ketika jemari mereka adalah untuk aku sentuh dan untuk ku
genggam, ini seperti asing dalam kehidupanku, tercengang atau tidak, percaya
atau tidak, ini benar-benar terjadi. Seketika itu aku mendapati diri yang lebih
baik dan aku mendapati diri yang kembali bisa mendang indahnya pelangi yang
nampak diwaktu petang, aku bisa merasakan manisnya madu yang menyehatkan dan
aku bisa lagi merasakan nikmatnya kebahagiaan yang selama ini tertimbum dengan
baik. Aku dengan diriku larut pada kebahagiaan yang berkepanjangan, ketika aku
merasakan yang rasa itu membuat aku kembali hidup, kembali hidup bersama asa
yang enggan pergi (lagi) pada kehidupanku. Aku dengan asaku adalah hal yang
akan membuat rumah yang membesarkan aku kan dipandang dengan mata yang terbuka,
akan didengar dengan telinga yang menganga, dan akan dirasa dengan perasaan
yang peka, akan ada masa ketika aku dan asaku melebur dengan mereka dan asa
mereka, sehingga, yang akan membuat besar dan harum rumah adalah kita, bukan aku, bukan juga dia, tetapi kita.
Mereka terlalu istimewa ketika mereka hadir dan mampu ku sentuh di kehidupanku.
Mereka mampu membuat pikirku sesak oleh kebencian, namun, mereka sangat mampu
mengembalikan dan mengisi hariku dengan helaan nafas opmitis akan asa dan
mengisi hariku didampingi oleh kebahagiaan yang mereka berikan. Aku menyebut
mereka dengan “Sahabat terbaikku”, tapi aku tak tahu, apa sebutan untukku.
Sahabat, semoga ini tidak cepat berakhir.
Aku sangat benci menulis bagian ini,
tentang perpisahan.
Aku enggan menerima kenyataan yang
sudah menjadi alur kehidupan ini. Mereka benar-benar harus beranjak pergi, merangkai
kembali asa bersama dunia baru mereka, dan menata kembali sikap serta pikir
dengan manusia asing. Kenangan memang untuk dikenang, dan pertemuan memang
untuk perpisahan. Akan ku kenang atas setiap detik yang pernah kita lalui
bersama, kita pernah lalui masa sulit dengan mata sayu dan tertunduk lesu, kita
pernah lalui masa lelah dengan kaki yang tak mampu lagi menopang tubuh, dan
kita pernah lalui masa sakit dengan hati yang teriak merintih namun tak ada
siapapun yang mendengar. Namun ketahuilah, Tuhan memang sangat Adil. Hal yang
membuat kita sayu dan lesu, yang membuat kita lela dan sakit, kini telah
menjelma menjadi sesuatu yang sangat indah, indah dan terlalu indah untuk kita
kenang, ketika ruang tempat kita berdiri dihiasi oleh siratan manisnya senyum,
dibingkai oleh syahdunya tangis haru dan kita saling pandang dengan pandngan
yang tajam yang larut dengan kebahagiaan.
Pertemuan
"Setiap
pertemuan sudah barang tentu akan diakhiri dengan perpisahan". Tapi aku
berontak pada malam, "Setiap pertemuan sudah barang tentu akan diakhiri
dengan pertemuan kembali" . Itulah baris
kata yang sengaja aku buat untuk menghibur diri tentang kepastian akan
perpisahan. Bodohnya aku, aku melanggar hukum alam tentang perpisahan. Aku
hanya ingin selalu mengikat dengan erat atas apapun jalinan yang sempat dan
telah kita jalin ini, aku sama sekali tidak menginginkan sebuah akhir, itu
terlalu menyakitkan jika harus benar-benar terjadi. Ya, pada akhirnya pertemuan
memang untuk perpisahan. Maka siapapun, ajari aku agar aku bisa rela melepasnya
dengan mudah. Semoga tidak ada yang mampu untuk mengajari itu.